SYARAT DITERIMANYA AMAL

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, semoga shalawat serta salam tetap terlimpahkan kepada nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam . Dan semoga kita tidak termasuk golongan orang yang disebutkan oleh Allah dalam firmanNya:
"Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya". (Al-Kahfi: 103-104).

Maka dari itu perlu kita pahami dua syarat diterimanya suatu amalan di sisi Allah, yaitu:
Ikhlas, ini merupakan syarat bathin.
Mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (ittiba'urrasul shallallahu 'alaihi wasallam ), ini merupakan syarat zhahir.

Kedua syarat ini tidak boleh diabaikan salah satunya, karena barangsiapa melaksanakan suatu amalan dengan ikhlas, tapi menyelisihi atau menyalahi ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka amalan itu tertolak atau sia-sia. Begitu pula sebaliknya siapa saja yang beramal sesuai ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tapi niatnya tidak ikhlas karena Allah maka sia-sia pula amalan itu.
Untuk lebih jelasnya marilah kita pahami uraian berikut ini:

1) Ikhlas
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan kita semua tidaklah sia-sia, namun mempunyai tujuan yang amat agung yaitu beribadah kepada Allah. FirmanNya:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu".(Adz-Dzaariyaat: 56).
Dalam penciptaan alam semesta beserta isinya ini Allah tidak dibantu dan tidak butuh bantuan dari siapapun, sehingga sudah pasti ibadah itu harus dan wajib diperuntukkan bagi Allah saja dan tidak boleh bagi yang lain, baik itu nabi-nabi yang Allah utus ataupun malaikat-malaikat yang dekat dengan Allah. Dan lebih tidak boleh lagi kalau ibadah itu ditujukan kepada wali-wali, kyai-kyai, batu, keris, dll. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus". (Al-Bayyinah: 5).

Maka sudah sewajarnya ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang berperangnya seorang laki-laki dengan niat untuk memperoleh pahala dari Allah dan juga agar dikenang oleh manusia, beliau menjawab: dia tidak memperoleh apa-apa. Kemudian Rasulullah ` ditanya sampai tiga kali dan tetap jawaban Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seperti semula, lalu beliau bersabda:
"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima suatu amal kecuali dari orang yang ikhlas dan hanya mengharap wajah-Nya". (Diriwayatkan oleh Imam An-Nasa'i dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahihnya nomor 56).
Maka sangat tepat perkataan ulama' bahwa ikhlas itu penunggalan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla bersih dari segala jenis kotoran syirik.

2) Ittiba'ur Rasul
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah penutup para nabi dan rasul, dan beliau itu merupakan semulia-mulia manusia di muka bumi, dan hal ini telah disaksikan oleh Allah dalam firmanNya :
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur". (Al-Qalam: 4).
Maka wajar jika Allah menjadikan keta'atan kepada Rasul itu bagian dari kecintaan kepadaNya, firmanNya :
"Katakanlah : Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihimu" (QS3: 31).
Kemudian Allah menegaskan perintah ta'at ini dengan firmanNya:
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah". (Al Hasyr: 7).
Demikian banyak ayat yang memerintahkan kita untuk ta'at kepada Rasulullah dan senantiasa berpegang teguh terhadap ajaran beliau, lebih-lebih beliau telah bersabda:
"Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada padanya perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak". (HR. Muslim).
Maka dari itu tidak ada alasan bagi kita untuk menyelisihi atau menyimpang dari ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam , baik dalam bentuk pengurangan seperti mengingkari kewajiban berjilbab/hijab bagi wanita, maupun dalam bentuk penambahan seperti perayaan Nuzulul Qur'an, ulang tahun Nabi, puasa pati geni, dll, yang semua itu tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam .
Berkata Sufyan Ats-Tsauri : "Tidak akan diterima suatu perkataan kecuali dengan perbuatan, dan tidak akan tegak perkataan, perbuatan, dan niat itu kecuali sesuai dengan petunjuk Rasulullah".
Di akhir pembahasan ini, marilah kita mohon kepada Allah agar dimasukkan dalam golongan orang yang ikhlas dan senantiasa mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tanpa menambah atau mengu-ranginya, dan agar kita ditetapkan dalam golongan ini sampai akhir hayat kita. Amin.

dikutip dari Abifathi@yahoo.com

-4 Plus 1 Karakter Manusia Maju

Kalau boleh menyesal atau protes tentu kita akan teramat sangat menyesal dan berteriak keras-keras karena telah dijajah ratusan tahun oleh Belanda. Kalau boleh memilih, tentu kita lebih memilih dijajah oleh Inggris ketimbang negeri Kincir Angin itu. Karena kedatangan Belanda pada masa penjajahan dulu hanya sebatas menguras habis harta kekayaan Indonesia, tidak lebih. Sehingga hasil yang terlihat sampai sekarang adalah bangsa Indonesia yang tidak lebih maju dibanding negara tetangga yang dijajah oleh Inggris. Meski ada yang membenarkan, nampaknya itu ungkapan orang-orang yang begitu pesimis dan pasrah menerima kenyataan bangsa yang carut marut seperti saat ini. Karena yang jelas, hukum alam membuktikan, siapa yang punya kemauan dan tekad kuat untuk maju, dialah yang maju dan akan meninggalkan jauh dibelakang mereka yang malas dan pasifYa pasif, satu dari tiga karakter manusia selain Proaktif dan Aktif. Seperti dikatakan Steven R Covey dalam “Tujuh Kebiasaan Manusia Efektif”, Proaktif adalah satu pondasi utama yang mendukung proses perkembangan dan kemajuan manusia. Jadi jika seorang individu dengan diikuti oleh individu lainnya menciptakan satu kelompok manusia proaktif, jelas perubahan besar yang mereka dapatkan. Itu belum ditambah enam kebiasaan lainnya. Aktif saja tidak cukup, karena orang aktif belum tentu memiliki inisiatif ataupun inovasi untuk senantiasa mencoba dan memulai hal-hal baru, yang lebih baik. Orang aktif hanya melaksanakan program-program yang sudah diset dan tida melakukan diluar dari itu. Sementara masalahnya, setuju atau tidak, satu karakter bangsa ini adalah malas, satu item dari sekian banyak item orang-orang pasif. Dan yang lebih menyakitkan, karena Indonesia adalah pemeluk agama Islam terbesar di dunia, maka orangpun melekatkan malas (dan selebihnya, pasif) itu pada muslim. Satu analisa yang masih boleh disanggahMaaf jika tidak setuju, bisa dikatakan saat ini (dan mungkin sampai akhir zaman) bangsa eropa akan selalu lebih leading dibandingkan bangsa-bangsa lainnya, apalagi Asia. Kalaupun harus mengesampingkan beberapa faktor yang dikemukakan John Naismith dan Patricia Aburdence dalam Megatrend 2000 dimana hampir seluruh sektor kehidupan orang Asia (termasuk Indonesia) dikuasai oleh eropa, tetapi kita bisa melihatnya dari sikap dan karakter bangsa eropa yang membuat mereka menjadi bangsa yang maju. Bahkan Yusuf Qaradhawi sendiri melihat kalaupun akan ada kebangkitan Islam, maka itu pasti bermula dari eropa, bukan Asia (apalagi Indonesia) seperti yang pernah ‘dicita-citakan’ muslim Indonesia. Berkenaan dengan itu Yusuf Qaradhawi menyitir sebuah hadits yang kurang lebih berbunyi: empat karakter yang membuat bangsa romawi (eropa) selalu lebih maju sampai di akhir zaman, pertama, mereka lebih cerdas meski dalam kondisi terkena fitnah. Kedua, cepat bangkit setelah jatuh, ketiga, cepat maju setelah mengalami kemunduran, dan keempat, terbaik dalam mu’amalah. Sementara satu tambahan karakter lagi yakni, tidak menerima dizhalimi (oleh penguasa). (HR. Bukhari) Karakter pertama menjelaskan betapa orang-orang eropa memiliki tingkat pengendalian diri, emosi yang baik. Sehingga dihadits dikatakan meski dalam keadaan fitnah sekalipun mereka tetap rasional. Berbeda dengan kita yang terkadang kerap mengkedepankan emosi dan bertindak reaktif mensikapi sesuatu tanpa berpikir matang terlebih dahulu. Karakter kedua menjelaskan kemampuan recovery yang dimiliki kebanyakan bangsa di eropa. Bandingkan dengan bangsa kita yang bahkan sampai sekarang masih menyalahkan penjajahan Belanda sebagai penyebab kesengsaraan. Kita terlalu lama meratapi dan mengharap belas kasih agar bangsa lain menolong kita. Ini seperti anak kecil yang terjatuh ketika bermain lari-larian bersama temannya, ia tidak akan bangun sebelum seorang temannya mengasihani dan menghulurkan tangannya. Sikap yang diambil temannya tak perlu dipermasalahkan, karena itu yang disebut empati. Tapi justru sikap menunggu huluran tangan orang lain itulah yang sampai dewasa pun ternyata menjadi kebiasaan.
Karakter selanjutnya, jelas terkait dengan dua karakter sebelumnya, berangkat dari pengendalian diri yang baik serta kemampuan recovery yang tinggi, meski sempat mengalami kemunduran biasanya mereka cepat sadar dan berupaya untuk memperbaiki nasib bangsa sehingga cepat pula merengkuh keberhasilan. Dan karakter keempat menjadi satu sindiran yang begitu kentara betapa seharusnya ummat Islam jauh lebih baik dalam urusan relationship dan berbuat baik dengan sesama. Baik kepada orang-orang miskin, yang sakit maupun mereka yang lemah. Dan satu lagi karakter tambahan yang awalnya Rasulullah menyebut empat namun dikeseluruhan hadits beliau menambahkan satu yakni, harga diri yang tinggi untuk tidak diam ketika dizhalimi, termasuk oleh penguasa. Bagaimana dengan kita? Kita malah meminta ‘maaf’ kepada orang yang tidak sengaja menginjak kaki kita, atau diam saja ketika bangsa lain mengeruk harta kekayaan bangsa ini, juga berterima kasih kepada IMF yang jelas-jelas mengobok-obok Indonesia.
Meski harus diakui, penjelasan tentang karakter-karakter diatas tidak harus digeneralisir sedemikian rupa karena nyatanya, masih banyak juga orang muslim yang hebat, yang maju, tidak emosional, baik dalam muamalah, bangkit dan bergerak ketika ditindas. Sementara di beberapa negeri eropa, secara individu sangat banyak dijumpai berupa penindasan, pelanggaran hak, tindakan asusila, amoral dan lain sebagainya. Di negeri ini, setidaknya reformasi menjadi bukti walaupun selama puluhan tahun juga tidak mampu berbuat apa-apa. Sampai-sampai pernah ada satu satire yang boleh direnungkan oleh bangsa ini yang kurang lebih berbunyi, bangsa eropa banyak bicara banyak bekerja, bangsa Afrika sedikit bicara sedikit bekerja, bangsa Asia banyak bicara sedikit bekerja, sementara disebutkan bangsa Jepang (yang masih bangsa Asia) sedikit bicara banyak bekerja. Yang paling menyakitkan diakhir tulisan itu dikatakan, bangsa Indonesia lain bicara lain yang dikerjakan. Entahlah.
Selain hadits diatas, Rasulullah yang sangat peduli terhadap ummatnya juga menghadiahi sebuah do’a yang patut kita baca setiap hari guna menghindari kekalahan sedemikian rupa dengan bangsa barat. Satu do’a yang menggambarkan problematika ummat secara sistematis dari sekedar rundungan sedih hingga dominasi orang terhadap diri ini. “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rundungan sedih dan duka. Aku berlindung dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat bakhil dan kikir. Aku berlindung kepada-Mu dari beban hutang dan penindasan orang”
Nampaknya do’a diatas sepantasnya dilafazkan oleh seluruh ummat Islam di negeri ini, karena do’a itu sangat tepat mewakili apa yang selama ini menjadi permasalahan kita. Sangat berhubungan erat dengan empat plus satu karakter yang diterangkan dalam hadits diatas. Dari mulai rundungan sedih dan duka yang kemudian meningkat menjadi penyakit lemah dan malas. Orang-orang malas biasanya bakhil dan kikir sehingga dari semua masalah itu jadilah kita bangsa yang terbebani hutang dan tidak bisa melepaskan diri dari penindasan bangsa lain.
Sekarang coba bayangkan, dengan empat plus satu karakter manusia maju seperti digambarkan diatas, ditambah sentuhan nilai-nilai Islam. Subhanallaah. Wallahu a’lam bishshowaab (Abinya Hufha)

Dzikr dan ‘ilmu hudhuriy 4

PAnggilan Cinta
Cinta memberi mata yang telah buta, penglihatan
Cinta memberi telinga yang telah tuli, pendengaran
Cinta memberi hati yang telah mati, kehidupan
Cinta memberi hamba yang telah gila, ke-lenyap-an
Wujud murni semurni-murninya, senantiasa Sendiri, karena Dia-lah hakikat Al-Munfarid. Kesepian senantiasa menyirami Semua yang diliputi-Nya. Kesaripedihan-Nya Yang Azali karena hasrat kerinduan tajalliyyaat Seluruh Segi Kesempurnaan-Nya,- yang merupakan satu kemustahilan-, mengalirkan hakikat rindu (syauq) pada semua yang maujud. Dan, bukankah rindu tak lain adalah lidah api gejolak Cinta yang memedihkan ?
Telah berkata Guru Kita YM. Syaikh Syihabuddin Suhrawardi Al-Maqtul (q.s.);
Ketahuilah bahwa yang pertama diciptakan Tuhan adalah mutiara cemerlang yang dinamai-Nya Akal (‘aql ). Mutiara ini diberinya tiga sifat, yaitu kemampuan untuk mengenal Tuhan, kemampuan untuk mengenal dirinya sendiri, dan kemampuan untuk mengetahui apa yang belum ada dan kemudian ada. Dari kemampuan untuk mengenal Tuhan, muncul husn, yang dinamakan Keindahan; dan dari kemampuan untuk mengenal dirinya sendiri, muncul ‘isyq, yang dinamakan Cinta. Dari kemampuan untuk mengetahui apa yang belum ada kemudian ada, muncullah huzn, yang dinamakan Kesedihan. Dari ketiganya ini, yang timbul dari satu sumber dan bersaudara satu sama lain, Keindahan adalah yang paling dulu memandang dirinya dalam dirinya dan dia tersenyum. Dari senyum itu bermunculan beribu-ribu kerubim. Cinta, saudara tengah, begitu dekat dengan Keindahan sehingga dia tidak dapat melepaskan pandangan darinya dan selalu berada di sampingnya. Jika Keindahan tersenyum, kelumpuhan menimpa Cinta, yang menjadi begitu gelisah sehingga dia ingin bergerak. Kesedihan, yang paling muda, bergantung kepadanya, dan dari kebergantungannya inilah langit dan bumi muncul.
Dzikr berulang-ulang menggaungkan Nama-Nama-Nya Yang Indah artinya Ia menampakkan Ke-Indahan-Nya pada diri-Nya sendiri melalui ‘kita’, yang tidak lain hanyalah Khayalan-Nya atas diri-Nya Sendiri. "Kita" tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada. Maka makna Asma Al-Jamiil, Ar-Ro`uuf, Al-Waduud, Al-Jawwaad, Al-Lathiif, Al-Khobiir akan segera bertajalli dan hakikat pezikir (baca pula; salik) pun menjadi Cinta yang terbutakan matanya dengan kemaharinduan-nya akan hakikat Nama-Nama tersebut yang tidak akan lagi lebih dekat dari qaaba qaswaini au ‘adna. Salik (baca juga; sang pecinta) bak buih tercelup di Samudera, kehilangan seluruh ingatannya akan dirinya sendiri dan semua yang ada.
Pecinta tak tahu apa arti air material, baginya yang ada hanyalah Al-Hayyu. Pecinta tak tahu apa arti makanan, baginya yang ada hanyalah Ar-Razzaq. Pecinta tak tahu lagi apa arti dosa, baginya yang ada hanyalah Al-Ghofuur. Pecinta tak tahu lagi apa arti tempat sujud, baginya yang ada hanyalah Al-Qariib. Pecinta tak tahu lagi apa arti semua hal yang terlihat, baginya yang ada hanyalah Azh-Zhahiir. Pecinta tak tahu lagi apa arti bedak dan wewangian istrinya, baginya yang ada hanyalah Al-Waduud. Pecinta tak tahu lagi apa arti rumahnya, baginya yang ada hanyalah Dia, Al-kahf liman laa kahfalahu (Gua bagi yang tak mempunyai gua). Pecinta tak tahu lagi apa arti tetangganya, baginya yang ada hanyalah Dia, Al-jaar liman laa jaaralahu (Tetangga bagi yang tak mempunyai tetangga). Pecinta tak tahu lagi apa arti benar dan salah, baginya yang ada hanyalah Al-Haqq. Pecinta tak tahu timur tak tahu barat, tak tahu pula arah kiblat (ka’bah), karena baginya ke mana saja ia menghadap disitulah wajhullah. Pecinta tak tahu lagi siapa dirinya, karena ia telah menjadi "Ana Ahmadun bi laa mim (Aku adalah Ahmad tanpa mim (yaitu; Ahad))".
Tahapan sang penggila cinta yang tenggelam dalam Nama-Nama - Nya. Bahkan ia bukanlah sesuatu yang bisa disebut sang atau pun penggila. Dan jangan sifati ia ! Laa ya’riful waliyya illal waliyyu. Tidak mengenal wali kecuali wali. Sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Ibrahim Gazur I -ilahi;
.... Dalam pengetahuannya, obyek-obyek tidak mempunyai keberadaan sendiri dan tidak ada " yang lain" (selain Allah). Jika keadaan ini berlangsung lama, dia dinamakan jadzba (ektase, kegembiraan luar biasa, kegembiraan batin) dan januun - I -ilaahi (kegilaan dalam Tuhan). Seseorang yang telah merasakan ini untuk beberapa menit menjadi seorang wali, dan jika dalam waktu lama, menjadi quthub atau ghauts.
Maka, benarlah kata penyair;
lihatlah pemabuk ribuan gazal
tiada akal, tiada akal
Yang Ada hanyalah rambut yang ikal
wallohu a’lam bish-showwab
[[[ :::::: penulis Dr.Dimitri Mahayana :::::::]]]]]

Dzikr dan ‘Ilmu Hudhuriy 3

Samudera Sholawat
Syaikh Syilbi mengatakan; "Aku berkata dan Aku mendengar dan adakah yang lain di kedua dunia ini selain aku?"
‘Ashalah al-wujud, - bahwa yang Real dan Hakiki Ada hanya Tuhan (baca pula; wujud an sich)-, jelas mentahkik ke-khayal-an semua kejamakan yang nampak. Alam, - langit maupun bumi, dunia maupun akhirat, immaterial maupun material-, tidak real. Tidak mempunyai ‘ashalah. Alam(baca pula; selain Tuhan) hanya memiliki wujud kopulatif dalam alam mental. Inilah yang disebut Imajinasi Teofanik. Penciptaan dalam Khayalan Tuhan. Maka, tidak ada penciptaan dalam artian Tuhan menciptakan hal-hal yang benar-benar ada sebagaimana adanya Diri-Nya. Mahiyyat bi jaal-i-ja’il nist.Fa’il-i-faa’il khilafi qabil nist. (Mahiyyah (baca pula; keapaan) tidak diciptakan oleh Pencipta. Perbuatan dari pelaku tidak bertentangan dengan "bakat").
Karena Tuhan adalah wujud an-sich, maka Ia mesti meng-ada. Ke-mestian terawal Ia meng-ada, -yang mungkin disebut Qudrah-, adalah Jauhar / Substansi Pertama (baca pula; (Nur) Muhammad) yang ter"cipta" atau "muncul" dalam Khayalan Tuhan tentang Diri-Nya. Maka terdapat "dua" sesuatu, Allah dan Muhammad. Dari "dua" sesuatu ini, muncul Khayalan-Nya akan (Allah, Muhammad) dan (Muhammad, Allah), dan muncul khayalan Muhammad tentang dirinya sendiri. Hingga muncullah "lima" sesuatu. Dan seterusnya muncullah alam yang mahajamak ini dalam Khayalan-Nya. Sekuen logis nir-ruang dan nir-waktu ini disebut dengan emanasi (al-ibda`).
Maka, Segala Yang Ada Subyek dan Obyeknya Ia Semata. Ia - lah Yang Mencipta dan Ia - lah Yang Dicipta. Ia - lah Yang Mengetahui dan Ia - lah Yang Diketahui. Ia - lah Yang Memuji dan Ia - lah Yang Dipuji. Maka benarlah perkataan Syaikh Syilbi di atas; "... adakah yang lain di kedua dunia ini selain aku?"
Sebagaimana hakikat ilmu adalah kumpulan intellegebles, hakikat penciptaan - pun adalah intellegebles. Seluruh penciptaan ada dalam alam mental. Tidak mempunyai ‘ashalah. Tidak mempunyai akar kenyataan. Mungkin ini-lah yang pernah dinyatakan oleh ‘Allamah Sayyid Sir Muhammad Iqbal; Hakikat seluruh kehidupan adalah ruhaniah. Tak lain perjalanan ruhaniah adalah perjalanan manusia sebagai khayalan Tuhan dalam khayalannya (baca pula; alam mental / pikirannya) sehingga dalam dirinya Tuhan menemukan satu aspek Kesempurnaan Perwujudan-Nya. Maka sungguh sebaik-baik dzikr, adalah yang menggerakkan manusia untuk menyadari Kesatuan Subyek dan Obyek dalam segala yang maujud. Dan inilah hakikat Sholawat .
Berulang-ulang melantunkan Sholawat artinya, membuat batin semakin yakin bahwa Allah-lah satu-satunya yang Ada dan tiap saat, tiap waktu di tiap ruang Ia senantiasa memuji bayangan diri-Nya sendiri, tak lain adalah Muhammad. Dan Ia senantiasa bersholawat di mata kita, di kelopak mata, di gendang telinga dan di segenap pori dan sel.
Berulang-ulang melantunkan Sholawat artinya, membuat batin sadar kembali bahwa hanya Allah-lah Sang MahaAku, sedang Muhammad ada dalam fikiran, juga sekalian alam. Maka benarlah kata Mansur Al-Hallaj; "Ana Al-Haqq" . Dan benar pula kata seorang wali, " Aku dari Allah, dan Allah dari aku, dan akulah mu`min yang paling afdhol."
Berulang-ulang melantunkan Sholawat artinya, meng-hadir-kan Subyek dan Obyek semua ‘ilmu dalam batin kita. Sehingga mungkinkah kita merasakan seperquadrilliun dari suatu riwayat; "Ditunjukkan pada kami benda-benda sebagaimana adanya pada hakikatnya"
Berulang-ulang melantunkan Sholawat artinya, lebur dalam melodi Kesedihan Tuhan Yang Azali, -Hasrat-Nya untuk mengenali diri-Nya Sendiri. Tak ada Pelaku lain selain Ia sendiri.
Mungkinkah Tuhan tidak terbingungkan oleh kemahajamakan khayalan-Nya? Mungkinkah Tuhan tidak terbingungkan oleh kemahalawanan Sifat-SifatNya? Mungkinkah Tuhan tidak tenggelam dalam Samudera Nama-Nama - Nya Sendiri? Sholawat akan menjawab, mungkin!
Hanya Ia Sendiri-lah tujuan semua dzikr dan doa. Sebagaimana hanya Ia Saja-lah Sang MahaPelaku. Sebagaimana yang dirintihkan dalam sebuah doa; Wa anta ghooyatul mas`uul wa nihaayatul maamul. Dan Engkau Sendiri, Ya Allah, tujuan doa ini dan nihayah (tujuan akhir) dari harapan-harapan. Maka Yaa Allah, kabulkanlah doa - doa kami ini, wujud-kanlah "Kullu syai`in haalikun illa wajhahu" dalam batin yang penuh kegelapan ini dengan Sholawat-Mu.
Maka kata seorang penyair;
garputala lain, garputala lain, maka udara di atas air pun enggan bergetar merdu
dalam rogga gitar ada gitar, maka senar-senar pun tak membuat udara bergetar merdu
bak istri yang maha pencemburu, Kau Takkan Menampakkan Merah bibirmu jika dimadu
tapi jika di bola mata ku Kau lihat hanyalah Wajah-Mu, maka Kau pun merekah tersenyum semanis madu
wallohu a’lam bish-showwab

Dzikr dan ‘Ilmu Hudhuriy 2

Dalam setiap ‘ilmu ada tiga hal; subyek yang mengetahui (‘alim), obyek yang diketahui (‘ma’lumaat) dan tindak (baca pula; predikat) mengetahui. ‘Ilmu disebut hudhuriy jika subyek yang mengetahuinya identik dengan obyek yang diketahuinya. Pemikir identik dengan yang dipikirkan. Ittihade ‘aaqil wa ma’qul. Atau Al- Ittihad al-’aqil wa al-ma’qul. Keidentikan atau kesatuan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui. Jadi dalam ‘ilmu hudhuriy, subyek = obyek. Maka terkadang ‘ilmu hudhuriy disebut pula sebagai ‘ilmu swa-obyek.
Maka, karena pada hakikatnya seluruh ‘ilmu adalah ‘ilmu hudhuriy, bagaimana menjelaskan ke-swaobyek-an seluruh ‘ilmu? Jika hal - hal yang diketahui adalah hal-hal yang memiliki eksistensi mental saja seperti konsep tentang titik, prinsip non-kontradiksi , dll, ini masih bisa dibayangkan, tapi jika yang diketahui adalah obyek material, bagaimana mungkin obyek material identik dengan subyek mental manusia yang jelas merupakan hal yang immaterial? Mungkin lebih berat lagi ke-musykilan yang diajukan Mulla Hadi Sabzavary, " Bagaimana mungkin segala hal yang termasuk dalam 9 kategori jatuh hanya dalam 1 kategori saja, yaitu kualitas?"
Sebagian filsuf berusaha memecahkan masalah ini dengan mengatakan bahwa, pada dasarnya pengetahuan manusia adalah bayangan (image) dari realitas yang ada. Tapi teori ini gugur dengan melihat banyak pengetahuan yang tidak merupakan bayangan dari apa pun, seperti prinsip non-kontradiksi, konsep titik, garis dan seluruh geometri. Seluruh prinsip niscaya rasional jelas bukan bayangan dari apa pun, bahkan seluruh hal yang inderawi akan kehilangan makna tanpa pra-eksistensi dari prinsip-prinsip ini,
Batas antara hal yang material dan immaterial ternyata fuzzy (tidak tegas). Karena materi disadari keberadaanya karena persepsi akan materi tersebut. Sedang persepsi jelas immaterial. Tidak mungkin bagi seseorang membedakan persepsi dalam mimpi yang immaterial dan persepsi dalam alam tak-mimpi yang material. Maka para wali mengatakan "Arwahuna ajsaduna, wa ajsaduna arwahuna" (Ruh-ruh kami adalah jasad-jasad kami, dan jasad-jasad kami adalah ruh-ruh kami) Yang membuat beda antara hal material dan immaterial jelas dan tegas seperti kutub utara dan kutub selatan hanyalah operasi mental manusia yang terlalu akrab dengan hal - hal yang kasat mata saja.
Dan, sebagai suatu quiditas yang memiliki wujud, secara emanatif wujud mempunyai jalur intellegebles hingga me-wujud-kan quiditas tersebut. Secara emanatif, artinya menurut teori emanasi atau al-ibda`. Dimitri qua dimitri bukan sesuatu apa pun. Tidak memiliki wujud. Bukan sesuatu yang maujud. Dimitri menjadi sesuatu pada saat, wujud-nya yang kopulatif terhubung pada wujud an-sich melewati satu jalur emanasi tertentu. Semua jalur emanasi bersatu pada tahapan wujud an sich dan akal pertama. Dan wujud an sich,- yang tidak termasuk dalam kategori apa pun, dan ada pada segala tanpa satu persatuan-, mungkin menjadi subyek dan obyek seluruh ilmu. Apakah ini yang disebutkan oleh Plato sebagai Idea, yang harus diingat kembali oleh orang yang ‘belajar’? Atau ini yang disebutkan oleh Aristoteles dan Mulla Shadra sebagai potensi ilmu yang harus diaktualisasikan oleh orang yang belajar?
Maka apakah berdzikir ? Meng-ada-kan satu-satunya Subyek dan Obyek yang ada. Melewati jalur-jalur kontra-emanasi (baca pula; Nama-Nama) tertentu. Hingga sampai pada wujud an sich. Suatu keadaan yang disebutkan dalam sebuah kitab sebagai berikut; ‘Ilme khuda dar ‘ilme shuufii gum syawad. Ilmu Tuhan tenggelam dalam ilmu sufi. Bagaimana orang kebanyakan bisa mengerti ?
wallohu a’lam bis-showwab

Dzikr dan ‘Ilmu Hudhuriy 1

Dzikr dan ‘Ilmu Hudhuriy 1
Wahai Yang Menunjukkan Zat-Nya dengan Zat-Nya, dan jauh dari keserupaan dengan makhluk-Nya.
Ia, - Allah-, hakikat semua yang maujud, menunjukkan diri-Nya Yang Mahasejati kepada semua yang maujud dengan diri-Nya sendiri. Bukan dengan apapun selain diri (baca juga; Zat) - Nya. Bukan pula dengan semua intellegebles yang ada dalam alam mental manusia yang dikreasi secara hushuliy (representasional) oleh mental manusia. Subhanalloohi ‘amma yashifuun. (Maha Suci Allah atas apa semua yang mereka sifatkan) . Mereka sifatkan, mereka merupakan bentuk jamak dan jelas menunjukkan bahwa subyek pensifatan yang batil ini bukan Ia sendiri. Illa ‘ibaadalloohil-mukhlashiin. (Kecuali hamba-hamba Allah yang ikhlas). Mukhlashiin, bentuk pasif yang bukan merupakan pelaku (fa’il) tapi yang dikenai pekerjaan (maf’ul), kenapa? Karena mutlak yang merupakan pelaku sebenarnya penyifatan Allah yang benar adalah diri-Nya sendiri.
Maka orang yang telah mencapai al-faqr (kefakiran ruhani), tidak merasa memiliki apapun. Semua kebaikan, keagungan, kebenaran, - baginya-, benar-benar milik Allah belaka. Dan Allah - pun akan mengingat (baca juga; melakukan dzikr) atas Zat - Nya sendiri melalui para fakir ruhani ini dengan menggetarkan segenap manifestasi wujud sang fakir dengan Nama-Nama - Nya.
Sebaliknya banyak orang yang telah berzuhud meninggalkan dunia tapi merasa memiliki satu kedudukan rohani (baca; maqam) tertentu di sisi Allah. Ibadahnya terasa amat lezat dengan bertambahnya kedudukannya di sisi Allah. Alih - alih mereka berjalan di muka bumi dengan teramat rendah hati, di balik cahaya benderang wajahnya yang menawan di relung terdalam hati terselip satu pandangan bahwa amalannya atau minimal kondisi hatinya cukup baik , dan lebih baik dari rata - rata manusia di dunia. Ohh..., apakah mereka lupa setitik sombong akan mencegah mereka dari surga. Dan apakah mereka lupa, Pemimpin Orang-Orang Beriman, Imam ‘ Ali bin Abi Thalib (a.s.) merintih; wa khoda’atnii dunya bi ghuruurihaa, wa nafsii bi jinaayatihaa wa mithoolii, dan dunia telah memperdayakanku dengan tipuan-tipuannya, dan diriku (telah tepedaya) karena ulahnya ?
Dimitri sebagai dimitri tak mengenal apa-pun, buta dalam lautan relativisme uber ales (baca; relativisme dalam segala hal) . Kehadiran diri - Nya dalam "bayangan kosong dimitri" lah yang merupakan kebenaran absolut dan merupakan satu - satunya yang pantas disebut sebagai ilmu. Contohnya ? Prinsip identitas, prinsip non-kontradiksi, dan lain-lain. Jadi ? Semua ‘ilmu adalah ‘ilmu hudhuriy, saat Allah mengingat diri - Nya sendiri melalui pancaran Nama-Nama - Nya. Apa artinya? Subyeknya Allah, Obyek Yang Diketahuinya -pun Allah, maka terucaplah yaa man dalla ‘ala dzaatihi bidzaatihi, wahai yang menunjukkan atas Zat-Nya dengan Zat-Nya !
Dan bagaimana untuk memperkuat intensitas ilmu hudhuriy seiring dengan menambah kesadaran kita akan kefakiran mutlak kita? Bukankah Qur’an Suci telah menyatakan; " Dan sesungguhnya mengingat Allah (dzikrullah) adalah lebih besar." Atau; " Ingatlah kamu kepada - Ku, niscaya aku akan ingat kepadamu." Maka, jika kita mengingat Allah, - yang bahkan meliputi seluruh manifestasi wujud kita-, Allah akan menghadirkan ingatannya kepada diri kita. Sebagaimana dikisahkan ketika satu dari ahli dzikir yang amat tekun, - Maha Guru Husein bin Mansur Al - Hallaj -, di penjara pada hari pertama beliau menghilang dari penjara, sedang pada hari kedua penjaranya hilang. Maka di hari ketiga penjaga menanyakan kepadanya tentang hal tersebut, beliau menjawab, " Hari pertama aku pergi ke hadhirat Tuhan maka aku menghilang, sedang di hari kedua Tuhan hadir sehingga penjara pun hilang."
wallohu a’lam bish-showwab

KETIKA ISLAM BERKUASA

Berkaca pada Sejarah
Cirinya sederhana, efisien, jujur, cakap
Di saat kekuasaan Soeharto tumbang, sebagian kita teringat kembali pada peristiwa kejatuhan rezim-rezim diktator sebelumnya. Terbayanglah bagaimana Ferdinand Marcos yang sangat berkuasa di Filipina dijatuhkan oleh kekuatan yang sulit diperhitungkan, yaitu Cory Aquino, seorang wanita, ibu rumah tangga biasa.
Kita juga diingatkan pada peristiwa jatuhnya Nicolae Ceausescu yang tumbang oleh rakyatnya sendiri secara mengenaskan. Demikian juga dengan jatuhnya Syah Reza Pahlevi. Semua diktator yang disebutkan di atas jatuh oleh kekuatan yang kurang diperhitungkan. Sama halnya dengan Soeharto.
Maka kita jadi tersambung dengan pernyataan sosiolog Muslim yang amat terkenal, Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya. Ia menulis bahwa rezim, dinasti atau kekuasaan itu ibarat umur manusia. Ia lahir, dewasa, kemudian mati.
Bermacam-macam cara untuk berkuasa. Ada yang menggunakan cara kekerasan, baik melalui kudeta maupun revolusi sosial. Ada pula yang menggunakan cara-cara licik, yaitu dengan membonceng kekuatan atau kekuasaan orang lain. Secara riil mereka tidak memiliki apa-apa, tapi melalui berbagai rekayasa, kekuasaan itu akhirnya berada di tangannya.
Di samping ada beberapa usaha yang keras untuk mendapatkan kekuasaan melalui cara-cara yan tidak halal, ada pula orang yang mendapatkan kekuasaan karena kualitas dan kapabilitasnya. Ia tidak mencari-cari, apalagi memperebutkannya. Bahkan kekuasaan itu tidak pernah diinginkannya. Hanya karena amanat saja ia mau dan bersedia menerima kekuasaan itu.
Dalam sejarah, banyak kita dapati penguasa yang bertype seperti ini. Para nabi tidak pernah berambisi menempati posisi puncak dalam kepemimpinan ummatnya. Akan tetapi mereka diberi amanah oleh Allah sebagai Rasul dan pemimpin ummat, maka merekapun tak sanggup untuk menolaknya. Mereka terima kepemimpinan itu dengan sungguh-sungguh walaupun ummatnya sendiri banyak yang belum bisa menerima. Penolakan ummatnya atas kepemimpinan para nabi dan rasul ini bukan karena pribadi-pribadi mereka, tapi karena lebih banyak faktor ajaran yang dibawanya.
Selain nabi dan rasul, terdapat pula orang-orang shalih yang berkuasa. Mereka sama sekali tidak berambisi untuk menduduki kursi kepemimpinan, tapi tuntutan situasi dan kondisilah yang mengantarkan mereka menerima kedudukan itu. Khulafa'ur-Rasyidin adalah orang-orang shaleh yang menempati posisi ini. Jika ada kesan rivalitas kekuasaan di antara mereka sepeninggal Nabi, sesungguhnya itu hanya kesan belaka. Paling tidak hanya sebatas tanggung jawab semata.
Yang menarik dalam kaitan ni adalah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Meskipun ia bukan Khulafaur-Rasyidin, tapi para ahli sejarah menempatkannya sejajar dengan mereka. Kepemimpinannya yang singkat ternyata telah mengantarkan rakyatnya hidup lebih sejahtera.
Umar bin Abdul Aziz berkuasa setelah pamannya, Sulaiman meninggal dunia. Kedudukannya sebagai kepala negara memang didapatkan melalui garis keturunan atau warisan, tapi ia telah berhasil mendapatkan legitimasi dari rakyatnya. Sebelum ia terima kedudukan itu, ia kembalikan kekuasaan kepada pemiliknya, yaitu ummat atau masyarakatnya. Ia tidak mau menjadi pemimpin hanya karena faktor keturunan. Karena keshalehannya, juga kepiawaiannya dalam mengendalikan berbagai urusan, maka ia dipercayai rakyatnya untuk memimpin.
Tidak seperti raja-raja atau para penguasa sebelum dan sesudahnya, ia mengendalikan negara dengan semangat kesederhanaan. Ia tinggalkan semua yang berbau glamour. Ia memilih tetap hidup sederhana. Ketika para tukang kuda kerajaan membawa kuda-kuda pilihan untuknya sebagai kendaraan kerajaan, ia justru memerintahkan kepada mereka untuk melelangnya kepada masyarakat umum. Hasil lelang itu kemudian diserahkan kepada baitul maal.
Tidak hanya itu, istrinya yang mendapatkan harta warisan dan berbagai pemberian dari keluarga kerajaan diperintahkan pula untuk menyerahkannya kepada baitul maal. Demikian pula kaum kerabatnya, dirayunya agar bersedia melakukan hal yang sama. Dari hasil lelang dan pengembalian harta kepada baitul maal ini, maka terkumpullah dana yang tidak sedikit. Dana itu yang kemudian dipakai untuk modal menyejahterahkan masyarakat yang kurang mampu.
Langkahnya yang sangat reformatif tentu mengundang simpati dan dukungan masyarakat luas. Meskipun sebagian elite penguasa ada yang kurang puas dengan berbagai kebijakannya, tapi negara dalam keadaan aman, damai dan sejahtera. Tidak ada yang berani mengganggu, sebab mereka akan berhadapan langsung dengan kekuatan rakyatnya sendiri.
Karena ia berhasil mengangkat orang-orang yang shaleh, jujur dan cakap, serta efisien dalam kabinetnya, maka berbagai prasangka kelompok dapat diatasinya. Ia adalah bapak bagi rakyatnya, tapi tetap bisa bersikap tegas dan keras kepada siapa saja yang melanggar hukum. Rasa keadilannya yang tinggi membuatnya tidak segan-segan menghukum, bahkan memenjarakan kerabat dekatnya, seperti Yazid bin Muhallab dengan tuduhan penggelapan.
Bila ada penguasa muslim bersikap dan berwatak seperti ini, maka kepemimpinannya pasti akan abadi. Sejarah akan mencatatnya dengan tinta emas, dan generasi di belakangnya pasti akan selalu mengenang. Tidak sekadar menjadi pelajaran, tapi sekaligus teladan.
Akankah kepemimpnan sekarang ini berwatak sederhana, jujur, ikhlash, cakap dan efisien sebagaimana yang melekat pada diri Umar bin Abdul Aziz? Jarum sejarah masih berputar, waktu juga yang akan membuktikan. Kini saatnya kita tunggu sambil kita doakan, semoga Allah memberi kekuatan iman.

JANGAN SEPELEKAN DOSA KECIL

JANGAN SEPELEKAN DOSA KECIL

Sudah maklum dikalangan ulama dan kaum muslimin bahwa dosa itu terbagi menjadi dua macam; kabair (dosa-dosa besar) dan shaghair (dosa-dosa kecil). Walau demikian ada juga sebagian ulama yang tidak melihat adanya pembagian seperti ini, namun menganggap bahwa seluruh kemaksiatan dan penyelewangan dari jalan Allah adalah dosa besar karena merupakan keberanian dan kelancangan dihadapan Allah. Orang yang mengatakan demikian karena melihat betapa besarnya hak Allah atas hamba-hamba-Nya.

Ada diantara ulama yang mengatakan: ”Suatu dosa dianggap kecil hanya lantaran jika dibandingkan dengan dosa lain yang lebih besar, jika tidak tentulah semua dosa itu besar adanya. ”Namun pendapat ini lemah sebab Allah sendiri telah membagi dosa dalam dua bagian yaitu fawahisy/ kabair dan al lamam/shaghair sebagaimana firmanNya:
“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil (QS An Najm: 32)

Jadi pendapat yang benar -wallahu a’lam- adalah bahwa dosa itu terbagi menjadi dua; besar dan kecil. Dan kabair tidaklah terbatas dengan suatu bilangan tertentu namun apa saja yang dilarang oleh Allah dan disertai dengan ancaman Neraka, murka, laknat, adzab atau berhadapan dengan sanksi hadd (hukuman berat yang telah ditentukan jenisnya) di dunia maka itulah kabair, dan yang yang selain demikain maka tergolong shaghair(ithaf as saadah al muttaqin 10/ hal 615-616).

Berubahnya dosa kecil menjadi dosa besar
Imam Ibnul Qayyim pernah berkata: ”Dosa-dosa besar biasanya disertai dengan rasa malu dan takut serta anggapan besar atas dosa tersebut, sedang dosa kecil biasanya tidak demikian. Bahkan yang biasa adalah bahwa dosa kecil sering disertai dengan kurangnya rasa malu, tidak adanya perhatian dan rasa takut, serta anggapan remeh atas dosa yang dilakukan, padahal bisa jadi ini adalah tingkatan dosa yang tinggi (tahdzib madarij as salikin hal 185-186). Dengan demikian maka dosa kecil dapat berubah menjadi besar dengan adanya faktor-faktor yang memperbesarnya, yaitu:
Terus-menerus dalam melakukannya
Hal ini karena pengaruh kerasnya jiwa dan adanya raan (bercak) didalam hati, maka dari sini ada qaul mengatakan: ”Tak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus dan tak ada dosa besar jika diiringi istighfar. ”Ucapan ini dinisbatkan kepada Ibnu Abbas Radhiallaahu 'anhu berdasarkan atsar yang saling menguatkan satu dengan yang lain (ithaf as-sa’adah al-muttaqin 10/687).
Anggapan remeh atas dosa tersebut
Rasulullah saw telah bersabda:
“Berhati-hatilah kalian terhadap dosa kecil, sebab jika ia berkumpul dalam diri seseorang akan dapat membinasakannya.” (HR ahmad dan Thabrani dalam Al Awsath). Rijal dalam dua riwayat ini shahih semuanya kecuali Imran bin Dawir Al Qaththan namun dia dapat dipercaya, demikian kata Imam Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 10/192.

Ibnu Mas’ud Radhiallaahu 'anhu pernah berkata: ”Seorang mukmin melihat suatu dosa seakan-akan ia duduk dibawah gunung dan takut jikalau gunung itu menimpanya dan orang fajir (pendosa) melihat dosa bagaikan lalat yang lewat didepan hidungnya seraya berkata “begini”, Ibnu Syihab menafsirkan: yakni berisyarat (mengebutkan) tangannya didepan hidung untuk mengusir lalat.

Suatu ketika shahabat Anas Radhiallaahu 'anhu pernah berkata kepada sebagian tabi’in: ”Sesungguhnya kalian semua melakukan suatu perbuatan yang kalian pandang lebih kecil dari pada biji gandum padahal di masa Nabi saw kami menganggapnya sebagai sesuatu yang dapat membinasakan. ”(riwayat Al Bukhari). Di sini bukan berarti Anas mengatakan bahwa dosa besar dimasa Rasulullah dihitung sebagai dosa kecil setelah beliau wafat, namun itu semata-mata karena pengetahuan para shahabat akan keagungan Allah yang lebih sempurna. Makanya dosa kecil bagi mereka-jika sudah dikaitkan dengan kebesaran Allah- akan menjadi sangat besar. Dan dengan sebab ini pula maka suatu dosa akan dipandang lebih besar jika dilakukan orang alim dibandingkan jika pelakunya orang jahil, bahkan bagi orang awam boleh jadi suatu dosa dibiarkan begitu saja (dimaklumi) karena ketidaktahuannya yang mana itu tentu tidak berlaku bagi orang alim dan arif. Atau dengan kata lain bahwa besar kecilnya suatu dosa sangat berkaitan erat dengan tingkat pengetahuan dan keilmuan pelakunya (ithaf as-sa’adah al-muttaqin 10/690).

Tapi meski bagaimanapun seseorang seharusnya dituntut untuk menganggap besar suatu dosa, sebab jika tidak demikian maka tidak akan lahir rasa penyesalan. Adapun jika menganggap besar atas suatu dosa maka ketika melakukannya akan disertai dengan rasa sesal. Ibarat orang yang menganggap uang receh tak bernilai, maka ketika kehilangan ia tak akan bersedih dan menyesalinya. Namun ketika yang hilang adalah dinar (koin emas) maka tentu ia akan sangat menyesal dan kehilangannya merupakan masalah yang besar.

Perasaan menganggap besar terhadap dosa muncul karena tiga faktor:
- Menganggap besar atas suatu perintah (apapun ia).
- Menganggap besar Dzat atau orang yang memerintah.
- Keyakinan akan benarnya balasan.
Merasa senang dan bangga dengan dosa
Seperti seorang pelaku dosa berkata: ”Andaikan saja engkau tahu bagaimana aku mempermalukan si fulan, dan bagaimana aku membuka aib dan keburukannya sehingga nampak jelas semua!” Atau misal yang lain: ”Seandainya kamu melihat bagaimana aku memukul dia dan menghinakannya!”

Orang ini sudah begitu lupa dengan kejelekan dosa sehingga malah senang tatkala dapat melampiaskan keinginan-nya yang terlarang. Dan perasaan senang terhadap suatu kemaksiatan menunjukkan adanya keinginan untuk melakukannya, sekaligus menunjukkan ketidaktahuannya dengan Dzat yang ia maksiati, buruknya akibat dan besarnya bahaya kemaksiatan. Rasa senang dengan dosa telah menutupi semua itu, dan senang dengan suatu dosa lebih berbahaya daripada dosa itu sendiri. Sebab. orang yang berbuat suatu dosa namun sebenarnya tidak senang dengan perbuatan itu maka ia akan segera menghentikannya. Sedangkan rasa senang dengan dosa akan menimbulkan keinginan untuk terus melakukannya.

Jika kealpaan dan kelalaian semacam ini telah begitu parah maka akan menyeretnya untuk melakukan dosa tersebut secara terus menerus, merasa tenang dengan perbuatan salah dan bertekad untuk terus melakukannya. Dan ini adalah jenis lain dari dosa yang jauh lebih berbahaya daripada dosa yang ia lakukan sebelumnya.
Meremehkan “tutup dosa” dan kesantunan Allah
Yaitu ketika pelaku dosa kecil terbuai dengan kemurahan Allah dalam menutupi dosa. Ia tidak sadar bahwa itu adalah penangguhan dari Allah untuk-nya. Bahkan ia menyangka bahwa Allah sangat mengasihinya dan memberi perlakuan lain kepadanya, sebagaimana yang Allah kabarkan kepada kita tentang para pemuka agama kaum Yahudi yang berkata: “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasihnya.” Juga firman Allah:
“Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tidak menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu” Cukuplah bagi mereka neraka Jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Mujadilah: 8)
Membongkar dan menceritakan dosa yang telah ditutupi oleh Allah
Seseorang yang melakukan dosa kecil dan telah ditutupi oleh Allah namun ia sendiri malah kemudian menampakkan dan menceritakannya maka dosa kecil itu justru menjadi berlipat karena telah tergabung beberapa dosa. Ia telah mengundang orang untuk mendengarkan dosa yang ia kerjakan, dan bisa jadi akan memancing orang yang mendengar untuk ikut melakukannya. Maka dosa yang tadinya kecil dengan sebab ini bisa berubah menjadi lebih besar.

Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
“Seluruh umatku akan dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam dosa (al mujahirun), termasuk terang-terangan dalam dosa ialah seorang hamba yang melakukan dosa dimalam hari lalu Allah menutupinya ketika pagi, namun ia berkata: ”Wahai fulan aku tadi malam telah melakukan perbuatan begini dan begini!” (HR Muslim, kitabuz zuhd)
Jika pelakunya adalah orang alim yang jadi panutan atau dikenal keshalihannya
Yang demikian apabila ia melakukan dosa itu dengan sengaja, disertai kesombongan atau dengan mempertentangkan antara nash yang satu dengan yang lain maka dosa kecilnya bisa berubah menjadi besar. Tetapi lain halnya jika melakukannya karena kesalahan dalam ijtihad, marah atau yang semisalnya maka tentunya itu dimaafkan.

Sumber: (Dari Al-’Ibadat Al-Qalbiyah, Dr. Muhammad bin Hasan bin Uqail Musa Asy-Syarif) Publikasi: Dept.Ilmiah & Dept.Riset Informasi Yayasan Al-Sofwa
Reinventing by Abi Fathiyah 2002

dasar anak-anak



ini adalah anak saya dan kemanakan saya yang begitu akrabnya kalau mereka difoto akan tetapi kalau sudah lewat semenit ada saja yang diperebutkan dan akhirnya bertengkar..... biasalah anak-anak

anak & istriku



Liburan ...

rekan-rekan Achmad




Foto-fota ini adalah kenangan salah satu teman kami yang baik telah meninggalkan kita semua yang bernama Melly Amelia, SH (yang berbaju motif batik merah jambu)


My Family


























My Family