Dzikr dan ‘ilmu hudhuriy 4

PAnggilan Cinta
Cinta memberi mata yang telah buta, penglihatan
Cinta memberi telinga yang telah tuli, pendengaran
Cinta memberi hati yang telah mati, kehidupan
Cinta memberi hamba yang telah gila, ke-lenyap-an
Wujud murni semurni-murninya, senantiasa Sendiri, karena Dia-lah hakikat Al-Munfarid. Kesepian senantiasa menyirami Semua yang diliputi-Nya. Kesaripedihan-Nya Yang Azali karena hasrat kerinduan tajalliyyaat Seluruh Segi Kesempurnaan-Nya,- yang merupakan satu kemustahilan-, mengalirkan hakikat rindu (syauq) pada semua yang maujud. Dan, bukankah rindu tak lain adalah lidah api gejolak Cinta yang memedihkan ?
Telah berkata Guru Kita YM. Syaikh Syihabuddin Suhrawardi Al-Maqtul (q.s.);
Ketahuilah bahwa yang pertama diciptakan Tuhan adalah mutiara cemerlang yang dinamai-Nya Akal (‘aql ). Mutiara ini diberinya tiga sifat, yaitu kemampuan untuk mengenal Tuhan, kemampuan untuk mengenal dirinya sendiri, dan kemampuan untuk mengetahui apa yang belum ada dan kemudian ada. Dari kemampuan untuk mengenal Tuhan, muncul husn, yang dinamakan Keindahan; dan dari kemampuan untuk mengenal dirinya sendiri, muncul ‘isyq, yang dinamakan Cinta. Dari kemampuan untuk mengetahui apa yang belum ada kemudian ada, muncullah huzn, yang dinamakan Kesedihan. Dari ketiganya ini, yang timbul dari satu sumber dan bersaudara satu sama lain, Keindahan adalah yang paling dulu memandang dirinya dalam dirinya dan dia tersenyum. Dari senyum itu bermunculan beribu-ribu kerubim. Cinta, saudara tengah, begitu dekat dengan Keindahan sehingga dia tidak dapat melepaskan pandangan darinya dan selalu berada di sampingnya. Jika Keindahan tersenyum, kelumpuhan menimpa Cinta, yang menjadi begitu gelisah sehingga dia ingin bergerak. Kesedihan, yang paling muda, bergantung kepadanya, dan dari kebergantungannya inilah langit dan bumi muncul.
Dzikr berulang-ulang menggaungkan Nama-Nama-Nya Yang Indah artinya Ia menampakkan Ke-Indahan-Nya pada diri-Nya sendiri melalui ‘kita’, yang tidak lain hanyalah Khayalan-Nya atas diri-Nya Sendiri. "Kita" tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada. Maka makna Asma Al-Jamiil, Ar-Ro`uuf, Al-Waduud, Al-Jawwaad, Al-Lathiif, Al-Khobiir akan segera bertajalli dan hakikat pezikir (baca pula; salik) pun menjadi Cinta yang terbutakan matanya dengan kemaharinduan-nya akan hakikat Nama-Nama tersebut yang tidak akan lagi lebih dekat dari qaaba qaswaini au ‘adna. Salik (baca juga; sang pecinta) bak buih tercelup di Samudera, kehilangan seluruh ingatannya akan dirinya sendiri dan semua yang ada.
Pecinta tak tahu apa arti air material, baginya yang ada hanyalah Al-Hayyu. Pecinta tak tahu apa arti makanan, baginya yang ada hanyalah Ar-Razzaq. Pecinta tak tahu lagi apa arti dosa, baginya yang ada hanyalah Al-Ghofuur. Pecinta tak tahu lagi apa arti tempat sujud, baginya yang ada hanyalah Al-Qariib. Pecinta tak tahu lagi apa arti semua hal yang terlihat, baginya yang ada hanyalah Azh-Zhahiir. Pecinta tak tahu lagi apa arti bedak dan wewangian istrinya, baginya yang ada hanyalah Al-Waduud. Pecinta tak tahu lagi apa arti rumahnya, baginya yang ada hanyalah Dia, Al-kahf liman laa kahfalahu (Gua bagi yang tak mempunyai gua). Pecinta tak tahu lagi apa arti tetangganya, baginya yang ada hanyalah Dia, Al-jaar liman laa jaaralahu (Tetangga bagi yang tak mempunyai tetangga). Pecinta tak tahu lagi apa arti benar dan salah, baginya yang ada hanyalah Al-Haqq. Pecinta tak tahu timur tak tahu barat, tak tahu pula arah kiblat (ka’bah), karena baginya ke mana saja ia menghadap disitulah wajhullah. Pecinta tak tahu lagi siapa dirinya, karena ia telah menjadi "Ana Ahmadun bi laa mim (Aku adalah Ahmad tanpa mim (yaitu; Ahad))".
Tahapan sang penggila cinta yang tenggelam dalam Nama-Nama - Nya. Bahkan ia bukanlah sesuatu yang bisa disebut sang atau pun penggila. Dan jangan sifati ia ! Laa ya’riful waliyya illal waliyyu. Tidak mengenal wali kecuali wali. Sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Ibrahim Gazur I -ilahi;
.... Dalam pengetahuannya, obyek-obyek tidak mempunyai keberadaan sendiri dan tidak ada " yang lain" (selain Allah). Jika keadaan ini berlangsung lama, dia dinamakan jadzba (ektase, kegembiraan luar biasa, kegembiraan batin) dan januun - I -ilaahi (kegilaan dalam Tuhan). Seseorang yang telah merasakan ini untuk beberapa menit menjadi seorang wali, dan jika dalam waktu lama, menjadi quthub atau ghauts.
Maka, benarlah kata penyair;
lihatlah pemabuk ribuan gazal
tiada akal, tiada akal
Yang Ada hanyalah rambut yang ikal
wallohu a’lam bish-showwab
[[[ :::::: penulis Dr.Dimitri Mahayana :::::::]]]]]

0 Comments:

Post a Comment